Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Desa Plumbangan Doko

Sejarah Desa Plumbangan Doko
Banner di Desa Plumbangan. (foto: google maps)
Bicara Blitar--
Dalam Dokumen Sejarah Desa Plumbangan, Tahun 1042 Masehi – Sekarang Tahun 2011, dikisahkan bahwa pada zaman pemerintahan Raja Sri Aji Jayabaya, raja dari Kerajaan Kediri, terdapat sebuah desa yang lokasi agak jauh dari pusat kerajaan yang disebut dengan Desa Panumbangan.

Awalnya, desa tersebut terkenal dengan yang aman dan tenteram. Penduduknya hidup tenang, dan bekerja seperti sedia kala. Ada yang bercocok tanam, menggembala sapi dan merawat kuda kerajaan. 

Suatu ketika di pasetran sumur Gumuling, yang sekarang dikeramatkan sebagai punden Blumbang, warga Desa Panumbangan dikejutkan huru-hara karena ulah raja jin bernama Waroklodro. 

Setiap hari, Waroklidro senantiasa menganggu penduduk desa yang akan mengambil air minum untuk memasak dan mandi di Kali Tiko. Sehingga, hal ini menimbulkan keresahan bagi penduduk Desa Panumbangan.

Salah seorang penggembala sapi memberanikan diri untuk melaporkan kejadian di Desa Panumbangan kepada raja di Kediri. 

Sesampainya di kerajaan, sang penggembala diterima oleh raja tetapi sayangnya raja tidak dapat turun tangan sendiri. Lalu, raja Kediri menyuruh minta bantuan di pasetran Pandan Rowo yang berada di Watu Gede Wlingi. 

Begitu Sang Begawan menerima laporan, ia memerintahkan untuk membuat Candi Lawang sebagai persyaratan dalam melawan raja jin Waroklodro. 

Benar adanya, setelah Candi Lawang atau dikenal juga dengan Candi Watu Lawang berdiri, raja jin merasa sangat senang dan bersila duduk di depan candi. Selanjutnya, oleh Sang Begawan disiram dengan tirta suci pemusnah. Akibatnya, Waroklodro hilang dan musnah.

Sebenarnya sebelum Candi Watu Lawang jadi, candi atau pun arca-arca lainnya sudah dibuat. Misalnya batu tulis (prasasti) yang sekarang berada di sebelah kanan depan candi itu dibuat pada tahun 1042 Masehi, dan tertanggal 11 Agustus yang isinya bukan merupakan silsilah raja-raja tetapi hanya merupakan sabda raja.

Isi dari prasasti tersebut antara lain: “Sing sopo manungso kang hanerak angger-angger dhawuhe nata lamun lumebu ing wana gung cinakota ing ulo mandi, lamun lumaku ing bulak di sambera ing glap.” (Barang siapa orang yang melanggar sabda baginda raja kalau masuk hutan mudah-mudahan digigit ular berbisa dan dimakan harimau, kalau berjalan di padang mudah-mudahan di sambar petir).

Jadi, kalau dilihat dari batu tulis tersebut, Desa Plumbangan yang dulunya dikenal dengan nama Desa Panumbangan itu hari jadinya adalah tanggal 11 Agustus 1042.

Karena desa tersebut telah berhasil meluruskan huru-hara dan keadaannya menjadi aman, tenteram dan damai oleh sang raja diberikan hadiah menjadi tanah perdikan. Artinya, desa tersebut dibebaskan dari pajak , desa tersebut tidak usah membayar pajak kepada kerajaan.

Setelah runtuhnya Majapahit, penduduk yang tinggal di desa tersebut tinggal sedikit, yaitu sekitar 14 rumah tangga yang di antaranya pasangan dari Soka Sentono dan Sokawati yang makamnya sampai sekarang masih dikeramatkan oleh warga Desa Plumbangan.


Muhammad Thoha Ma'ruf
Muhammad Thoha Ma'ruf gampang typo.