Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Selfie di Tengah Bencana, Budaya Buruk Warga Kita

Masyarakat yang berselfie. (foto: Hotli Simanjuntak/EPA)
Bicara Blitar--Gunung Semeru yang meletus pada 4 Desember 2021 lalu menyisakan sejumlah cerita. Selain korban jiwa dan harta benda ada ada cerita lain yang perlu untuk dibahas. Yakni kebiasaan masyarakat setelah terjadi bencana. Karena ada kesan setelah kejadian yang menggemparkan.

Masyarakat banyak yang berbondong-bondong untuk datang ke lokasi. Tujuannya, selain untuk memberikan donasi berupa bantuan. Mereka juga pembantu para petugas untuk mencari warga yang belum ditemukan. Kabarnya mereka tertutup abu vulkanik Gunung Semeru.

Selain mempunyai niatan untuk saling membantu, ternyata ada niat lain yang dilakukan oleh masyarakat. Mereka melakukan selfie dan swafoto untuk diabadikan. Kebiasaan itu tergolong buruk. Karena ada kesan mereka memanfaatkan itu hanya untuk ketenaran semata, tanpa ada kemanfaatan bagi para korban.

Kejadian ini sebenarnya memperkeruh upaya yang dilakukan oleh petugas untuk penanganan pasca bencana. Jalanan yang seharusnya bisa lengang untuk lalu lalang kendaraan menjadi ramai karena kunjungan para pemburu foto, yang berlagak seperti wisatawan.

Yang lebih parah lagi adalah hasil jepretan mereka diunggah di sosial media. Dengan melakukan itu mereka berpikir bahwa mereka adalah seorang yang patut disegani. Disaat banyak orang yang hanya melihat perkembangan bencana dari layar HP dan televisi, mereka melihat secara langsung.

Hal seperti tentu adalah hal yang tidak patut untuk ditiru. Kalau memang datang ke lokasi bencana, sepatutnya menjadi seorang relawan bukan selegram. Memberikan bantuan bukan hanya sekedar foto di postingan.

Perlu ada tindakan tegas dari pihak terkait untuk menindak tegas masyarakat yang seperti itu. Dan harus memberikan efek jera. Sehingga masyarakat di tengah bencana benar-benar bisa terbantu. Bukan merasa jengkel akibat aktivitas masyarakat yang hobi foto.

Kita bisa memberikan toleransi kepada para wartawan. Itu karena memang profesi yang mereka jalani. Tapi tidak demikian dengan para masyarakat yang berlagak selegram.

Contoh konkrit yang bisa diberikan umpamanya, pemasangan spanduk terkait larangan foto, dan penjagaan dari aparat keamanan di sekitar titik bencana.